BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Berbagai upaya dilakukan manusia
untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Mereka mencari jalan yang dapat membawa
mereka lebih dekat dengan Tuhan sehingga mereka merasa melihat Tuhan dengan
hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan Tuhan. Ajaran-ajaran seperti ini
terdapat dalam tasawuf.
Meskipun secara tekstual tidak
terdapat ketentuan untuk melaksanakan tasawuf, namun hal ini telah dilakukan
Rasulullah SAW. dengan pergi ke Gua Hira untuk mengasingkan diri dari kehidupan
kota Mekkah yang hanyut oleh penyembahan-penyembahan terhadap berhala dan
merenung mencari hakikat kebenaran disertai beribadah dan berpuasa sehingga
jiwanya semakin suci dengan membawa sedikit bekal.
Amalan tersebut mewarnai kehidupan
para sahabat. Mereka meneladani kehidupan Rasulullah SAW. dan membaktikan
hidupnya untuk kepentingan agama. Diantara mereka ada yang tekun beribadah dan
hidup zuhd. Mereka dikenal dengan Ahl al-shuffah. Yang kemudian disebut sebagai
cikal bakal munculnya kaum shuffi.
Dilihat dari segi amalan serta jenis
ilmu yang dipelajari, maka terdapat beberapa istilah yang khas dalam ilmu
tasawuf. Kaum sufi membagi ajaran agama kepada ilmu lahiriah dan ilmu batiniah.
Oleh karena itu, cara memahami dan mengamalkannya juga harus melalui aspek lahir
dan batin. Kedua aspek yang terkandung dalam ilmu agama tersebut oleh kaum sufi
dibagi menjadi empat kelompok, yaitu syari’ah, thoriqad, haqiqah, dan
ma’rifah.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian hirarki syari’at?
2.
Apa pengertian hirarki thariqat?
3.
Apa pengertian hirarki hakekat?
4.
Apa pengertian hirarki ma’rifat?
5.
Bagaimana hubungan antara hirarki
syari’at, thariqat, hakekat, dan ma’rifat secara integral?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Syari’at
Secara bahasa, syari’at berarti jalan, peraturan, undang-undang
tentang suatu perbuatan. Syari’at
berasal dari bahasa Arab “syara’atun wa syariiatun – syara’a” yang
artinya: menggariskan suatu aturan atau pedoman.
Secara istilah, syariat (syariiatun) adalah undang-undang yang
dibuat oleh Allah SWT yang tegak di atas dasar iman dan islam, berupa
seperangkat hukum tentang perbuatan zhahir/formal manusia yang diatur
berdasarkan wahyu al-Qur’an dan hadits atau as-sunnah.
Syari’at juga diartikan sebagai peraturan-peraturan atau garis-garis yang
telah ditentukan, termasuk didalamnya hukum-hukum halal dan haram, yang
diperintah dan yang dilarang, yang sunnah, makruh, mubah, haram dan sebagainya.
Syari’at disisni ditujukan sebagai landasan bagi seorang shufi untuk
mengerjakan amal ibadah, baik yang bersifat lahiriyah dari segala hukum seperti
shalat, zakat, puasa, haji, berjihad di jalan Allah, menuntut ilmu pengetahuan
dan lain sebagainya. Tegasnya syari’at itu adalah peraturan yang bersumber dari
kitab suci Al Qur’an dan Hadits Nabi.
Segala perbuatan yang dikerjakan oleh semua umat Islam tidaklah terlepas
dari suatu hukum. Menurut pandangan ahli tashawwuf, bahwa syari’at itu baru
merupakan tingkat pertama dalam menuju jalan Tuhan. Dengan demikian, berpegang
pada syari’at adalah sama halnya berpegang kepada agama Allah, dengan
menjalankan segala perintah-Nya dan berusaha sekuat tenaga menjauhi segala
larangan-larangan-Nya. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam kitab Kifayatul
Atqiya’ oleh Syaikh Zainuddin bin Ali al Malibary sebagai berikut :
“Syari’at adalah berpegang pada agama Allah Khaliqul alam dan menjalankan
perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya.”
Oleh sebab itu perlu ditegaskan sekali lagi bahwa tashawwuf tidak bisa
dilepaskan dari pondasi Islam, yaitu syari’at. Dan barang siapa yang meninggalkan
syari’at dalam bertashawwuf dengan alasan apa saja, maka akan batallah amalnya
dan bahkan akan terjerumus kedalam kekufuran yang nyata.[1]
B.
Thariqat
Kata thariqat berasal dari bahasa
Arab al-tharq, jamaknya al-thuruq merupakan isim musytaraq, yang
secara etimologi berarti jalan, tempat lalu atau metode.
Dalam wacana tasawuf, istilah
thariqat ini sampai abad ke-11 M/5 H dipakai dengan pengertian jalan yang lurus
yang dipakai oleh setiap calon sufi untuk mencapai tujuannya, yaitu berada
sedekat mungkin dengan Allah atau dengan kata lain berada di hadirat-Nya tanpa
dibatasi oleh dinding atau hijab. Sedangkan ikhtiar untuk menempuh jalan itu
dinamakan suluk. Dan orang yang
bersuluk disebut salik.
Ditinjau secara etimologi, kata
thariqat ditemukan dalam berbagai definisi. Di antaranya, menurut Abu Bakar
Aceh, Thariqat adalah petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan
ajaran yang ditentukan dicontohkan oleh rasul, dikerjakan oleh sahabat dan
tabi’in, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung-menyambung dan
rantai-berantai.
L. Masignon mengatakan bahwa
thariqat mempunyai dua makna dalam dunia Sufi. Pertama, dalam abad ke-9 dan
abad ke-10 M berarti cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang berminat
menempuh hidup sufi. Kedua, setelah abad ke-11 M thariqat mempunyai arti suatu
gerakan yang lengkap untuk memberikan latihan-latihan rohani dan jasmani oleh
segolongan orang-orang Islam menurut ajaran-ajaran dan keyakinan-keyakinan
tertentu.
J. Spencher Triminghan
mendefinisikan thariqat sebagai suatu metode praktis untuk menuntun dan
membimbing seorang murid secara berencana melalui pikiran, perasaan dan
tindakan yang terkendali secara terus-menerus pada suatu tingkatan-tingkatan
(maqamat) untuk dapat merasakan thariqat yang sebenarnya.
Berdasarkan pada pendapat-pendapat
di atas, dapat dipahami bahwa thariqat adalah suatu jalan atau metode tertentu
dalam ibadah yang dilakukan oleh seorang sufi dan diikuti oleh para muridnya
dengan tujuan bisa berada sedekat mungkin dengan Allah.[2]
C.
Hakikat
Hakikat (Haqiqat)
adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-benar ada. Kata
ini berasal dari kata pokok hak (al-Haq), yang berarti milik (kepunyaan)
atau benar (kebenaran).
Dalam bahasa hakikat yaitu arti
yang sebenarnya atau intisari atau isi akhiran. Sedangkan hakikat islam ialah
bebas dan bersih dari penyakit lahir dan bathin yang menimbulkan perasaan
nyaman, damai dan tentram serta menjadikan kita patuh dan taat pada segala apa
yang diperintahkan oleh-Nya juga menjauhi segala larangan-Nya.
Jadi Hakikat adalah buah dari benih syariat yang pengamalannya
melalui tarekat.
Dari sini jelaslah bahwa
syari’at, thariqat, dan haqiqat itu sesuatu tiga menjadi satu, seperti tali
berpilin tiga, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang demikian itu sesuai dengan
sabda Rasulullah SAW yang artinya sebagai berikut :
“Syari’at itu perkataanku,
thariqat itu perbuatanku dan haqiqat itu ialah kelakuanku.”[3]
D.
Ma’rifat
Ma’rifat adalah mengenal Allah, baik
lewat sifat-sifat-Nya, asma-asma-Nya maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Ma’rifat
merupakan puncak dari tujuan tashawwuf dan dari semua ilmu yang dituntut dan
satu-satunya perbuatan yang paling mulia.
Ma’rifat itu disamping merupakan
anugerah dari Allah, dapat pula dicapai dengan melalui syari’at, menempuh
thariqat dan memperoleh haqiqat. Apabila syari’at dan thariqat sudah dapat
dikuasai, maka timbullah haqiqat yang tidak lain daripada perbaikan keadaan dan
ahwal, sedangkan tujuan terakhir ialah ma’rifat yaitu mengenal Allah dan
mencintainya yang sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Orang yang telah
mencapai maqam ma’rifat ini disebut ‘Arifbillah. Dan pada tingkat inilah ia
dapat mengenal dan merasakan adanya tuhan, bukan sekedar mengetahui tuhan itu
ada.
Maka jelaslah bila Allah telah
membukakan pintu ma’rifat kepada seseorang atau kepada kita, maka janganlah
kita memperdulikan dulu akan amal kita yang sedikit, sebab ma’rifat itu sendiri
sudah merupakan rahmat, anugerah yang luar biasa. Siapa yang dibukakan akan
pintu ma’rifatullah, berarti orang itu akan dikenal baik oleh tuhan sendiri dan
penduduk langit. Yang mencari itu sesungguhnya yang dicari. Yang mengenal itu
sesungguhnya yang dikenal. Sedikit amal tapi disertai ma’rifat kepada Allah
jauh lebih utama dari pada banyak amal yang tidak disertai ma’rifat kepada
Allah.
Jelasnya mencapai ma’rifat itu tidak
cukup dengan jalan melalui dalil-dalil atau bukan semata didapat melalui akal
atau banyaknya amalan, akan tetapi ma’rifat billah dapat dicapai dengan
pertolongan Allah, disamping berusaha mrndapatkannya melalui amal sholeh.[4]
E.
Hubungan
antara Syari’at, Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat
Uraian tentang syari’ah, thariqah, haqiqah, dan
ma’rifah di atas mengambarkan betapa seriusnya para ulama sufi dalam
upayanya memberi jalan bagi umat untuk mengamalkan ajaran islam dengan mudah dan
tepat, sehingga mengantarkan hamba menuju kebahagian zhahir dan batin.
Syariah itu diibaratkan sebagai perahu dimana ia
menjadi sarana untuk sampai pada tujuan, sementara thariqah bagaikan lautan
luas yang tersedia sebagai wahana tempat tujuan berada. Sedangkan haqiqah
adalah laksana intan berlian mahal yang menyenangkan hati sebagai tujuan
perjalanan perahu. Dan ma’rifat itu adalah tujuan yang terakhir.
Ber-thariqah dan ber-haqiqah (berada
dilautan luas menggapai mutiara) tergantung dengan syariah (sarana perahu yang
kokoh). Seorang tidak akan berhasil ber-thariqah dan ber-haqiqah tanpa melalui
syariah. Dengan ungkapan lain, bahwa seseorang tidak akan mendapatkan
intan-mutiara tanpa menyediakan perahu dan menyemai lautan dalam.
Perumpamaan keempat konseptersebut merupakan sebuah sistem dan struktur
amalan islam yang tidak dapat dipisah-pisah.
Ibarat buah manis suatu pohon, maka tidak bisa buah
tersebut bermunculan terus tanpa disuplai oleh akar-akar pohon, oleh karena
kesemuanya merupakan satu struktur sistematik. Sama halnya dengan satu buah
berharga semisal durian. Seseorang tidak dapat langsung memperoleh inti
buahnya, kecuali terlebih dahulu harus mengupas kulit dengan susah payah, dan
beresiko terkena durinya, dan oleh sebab itu harus hati-hati.
Atas dasar ilustrasi seperti itu, ibadah-ibadah islam
terus diwajibkan sepanjang hidup manusia sembari diperoleh buah ibadah yang
berupa ma’rifattullah yang menjadi hakikat dan tujuan ibadah tersebut.
Dari uraian dan ilustrasi tentang syariah,
thariqah, haqiqah, dan ma’rifat di atas dapat dipahami, bahwa keempat tema
tersebut adalah sebuah konseptualisasi terhadap islam oleh para sufi dalam
rangka menjelaskan prosedur pengamalan islam dengan benar. Singkatnya,
konseptualisasi tersebut menggambarkan intensitas keislaman pengamalanya,
bukannya mengkotak-kotak islam menjadi empat dimensi terpisah.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Syari’ah adalah
undang-undang yang dibuat oleh Tuhan Alloh SWT yang tegak di atas dasar iman
dan islam, berupa seperangkat hukum tentang perbuatan zhahir/formal manusia
yang diatur berdasarkan wahyu al-Qur’an dan hadits/as-sunnah.
Thariqah yaitu jalan
atau petunjuk melakukan ibadah tertentu sesuai dengan ajaran yang dicontohkan
oleh Nabi Muhammad SAW.
Haqiqah adalah kata
benda yang berarti kebenaran atau yang benar-benar ada. Kata ini berasal dari
kata pokok hak (al-Haq), yang berarti milik (kepunyaan) atau benar
(kebenaran).
Ma’rifah adalah pengetahuan batin yang berbasis
kekuatan kalbu sehingga membuahkan suatu pengenalan tentang sesuatu, dan terasa
dekat serta hadir dalam sesuatu yang dikenali tersebut.
Hirarki syariah, thariqah, haqiqah, dan
ma’rifat dapat dipahami, bahwa keempat tema tersebut adalah sebuah
konseptualisasi terhadap islam oleh para sufi dalam rangka menjelaskan prosedur
pengamalan islam dengan benar.
Daftar
Pustaka
Hamka. 1951. Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Yayasan Nurul
Islam.
Mulyati, Sri. 2011. Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekant
Muktabarah di
Indonesia.
Jakarta:
Prenada Media Group.
Rusli,
Ris’an. 2013. Tasawuf dan Tarekat. Jakarta
: PT RajaGrafindo Persada.
Senali, Saifulloh Al Aziz. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tashawwuf. Surabaya:
Terbit Terang.
Simuh. 2002. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta:
PT.RajaGrafindo
Persada.
Umar, Nasaruddin. 2014. Tasawuf Modern. Jakarta: Republika.
Zn, Hamzah
Tualeka.,dkk. 2011. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar