Minggu, 13 Desember 2015
TERJAWAB SUDAH KERAGUAN HARI SANTRI
Tahun
2015 menjadi tahun pertama diperingati sebagai hari santri yang tepatnya pada
tanggal 22 Oktober. Dilantiknya Presiden RI ke 7 Jokowidodo yang sebelumnya
telah mencanangkan Hari Santri
pada tanggal 1 Muharam, akan tetapi oleh para petinggi Nadatul Ulama (NU)
disepakati bahwa tanggal 22 Oktober lebih pantas dijadikan sebagai Hari Santri
Nasional sebeb ditanggal tersebut, tahun 1945 penuh sejarah perjuangan bagi
para santri. Setelah disepakati bersama, kemudian Presiden Jokowi mengeluarkan
Keputusan Presiden (Kepres) nomor 22 tahun 2015 tentang Hari Santri Nasional. Dengan
adanya hari santri memberikan sebuah kebanggaan untuk para santri – santri di
Indonesia karena menjadi salah satu motivasi dalam berkehidupan di lingkungan
pesantren.
Sejarah
mencatat bulan Oktober 1945 adalah bulan dimana terjadi pertempuran antara
Indonesia dan Sekutu yang diboncengi oleh Belanda. Walaupun Belanda tahu
Indonesia telah merdeka di bulan Agustus dan
kemerdekaan itu dianggap belas kasihan dari Jepang, Belanda
tidak mahu mengakui kemerdekaan
Indonesia. Setelah mengetahui Jepang mengalami
kekalahan terhadap sekutu karena terjadi
pengeboman di kota Nagasaki dan Hirosima membuat
Belanda ingin menguasai Indonesia kembali. Kedatangan Sekutu dan Belanda di
Surabaya mendapat perlawanan sengit oleh tentara Indonesia, rakyat biasa, dan
santri - santri. Pendiri Nahdatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy’ari
mengatakan bahwa melawan penjajah hukumnya fardlu ain. Perkataan itu membuat
para santri menjadi semangat dalam membela tanah air
dan rela mati walaupun tanpa keahlian dalam berperang. Dengan adanya alat
perang apa adanya akhirnya Sekutu dan Belanda dapat dipukul mundur oleh
Indonesia dan mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia bukan dari belas kasihan
Jepang tapi karena perjuangan dari warga negara Indonesia sendiri.
Hari Santri Nasional merupakan milik
kita bersama warga bangsa ini. Santri bukan hanya memiliki arti tinggal di
pesantren tetapi berkelakuan santri tanpa di pesantren juga disebut santri. Indonesia
yang merupakan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia membuat banyak
penduduknya mempelajari islam di pesantren
- pesantren modern maupun tradisional. Belajar di pesantren merupakan
salah satu identitas Indonesia yang patut kita banggakan pada dunia. Cara
belajar santri yang terkenal ulet, memahami ilmu umum yang meliputi ilmu sosial
dan ilmu alam, maupun ilmu agama patut kita teladani untuk seluruh bangsa ini.
Banyak
kontroversi tentang Hari Santri Nasional, organisasi islam terbesar di
Indonesia Nahdatul Ulama (NU) dan Muhamadiah tidak sependapat dengan
adanya Hari Santri Nasional. Petinggi
Muhamadiah beranggapan bahwa Hari Santri justru akan membuat sekat – sekat
sosial yang dapat menyebabkan disintegrasi nasional, masalah – masalah
perbedaan dalam memaknai keislaman yang kini mereda dapat muncul kembali karena
diadakannya Hari Santri Nasional. Kebalikan dari Muhamadiah, Nahdatul Ulama
(NU) justru sepenuhnya mendukung adanya Hari Santri Nasional karena melihat
dari sejarah dimana perjuangan santri dahulu terhadap Indonesia sangatlah
besar, para santri rela mati demi tanah airnya sendiri. Presiden Indonesia
Jokowidodo berasumsi bahwa Hari Santri Nasional akan menambah rasa cinta tanah
air yang sangat mendalam. Apapun kontroversinya Hari Santri Nasional sudah
ditetapkan oleh Presiden dan kita sebagai rakyat sebaiknya mengikuti instruksi
Presiden selama keputusannya tidak melanggar dari undang – undang.
Nama Penulis : Qosim Nur Syekha
Tempat, Tanggal Lahir : Tegal, 2 Juni 1996
Alamat :
Jl. Menoreh No.9 Kel. Sampangan Kec. Gajah Mungkur
Kota Semarang
SUPERVISI PENDIDIKAN UIN WALISONGO
MAKALAH
SUPERVISI PENDIDIKAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Dasar - Dasar Manajemen
Dosen Pengampu: Bapak Muslam
Qosim Nur Syekha 1403056100
Fitria Maharani
1403056099
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di era globalisasi sekarang ini persaingan
hiduup semakin ketat, semua bangsa berusaha untuk meningkatkan sumber daya
manusia, termasuk sumber daya pendidikan. Guru merupakan penentu keberhasilan
pendidikan karena tugas guru adalah mendidik atau membantu peserta didik dengan
penuh kesadaran, baik dengan alat atau tidak, dalam kewajiban mereka
mengembangkan dan menumbuhkan diri untuk meningkatkan kemampuan serta peran
dirinya sebagai individu, anggota masyarakat dan umat Tuhan YME.
Guru sebagai tenaga pengajar yang profesional,
potensi sumber dayanya harus terus tumbuh dan berkembang. Guru harus dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh
sebab itu, guru sebagai salah satu komponen sumber daya pendidikan memerlukan
pelayanan supervisi. Pentingnya bantuan supervisi terhadap guru berakar
mendalam dalam kehidupan masyarakat. Dalam makalah supervisi pendidikan ini akan
dibahas lebih mendetail tentang supervise pendidikan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang makalah tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Apakah pengertian, prinsip, tujuan dan fungsi supervisi pendidikan?
2.
Apakah peran, objek, prosedur dan kendala supervise pendidikan?
C.
Tujuan
Berdasakan
rumusan masalah pada makalah tersebut, maka tujuan dar makalah ini adalah:
1.
Mengetahui pengertian, prinsip, tujuan dan fungsi supervisi
pendidikan
2.
Mengetahui peran, objek, prosedur dan kendala supervise pendidikan
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Supervisi Pendidikan
Istilah supervise pendidikan dapat dijelaskan baik menurutasal-usul
(etimologi) dan bentuk perkataanya (morfologi).
1. Arti Etimologis
Istilah
“Supervisi” diambil dari dari Bahasa Inggris “supervision” artinya
pengawasan (Wojowasito, 1972: 198). Supervise pendidikan berarti kepengawasan dibidang
pendidikan . orang yang melakukan supervise di sebut “Supervisor” atau
pengawas. Pada zaman Belanda ditingkat dasar pengawas disebut “Schoolopziener”
sedangkan ditingkat umum maupun kejuruan disebut `’inspecteur”`
2.
Arti Morfologis
Menurut
bentuk kata, supervise terdiri dari patah kata “Super”+”Visi” : super=atas,
lebih; visi=lihat, titik tilik, awasi. Seorang “Supervisor” memang
mempunyai posisi di atas atau mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada
orang-orang yang disupervisinya; tugasnya adalah melihat, menilik atau
mengawasi orang-orang yang disupervisinya itu.
Dalam Dictionary of Education
Good Carter (1959) memberi pengertian bahwa supervisi adalah usaha dari
petugas-petugas sekolah dalam memimpin guru-guru dan petugas-petugas lainnya
dalam memperbaiki pengajaran, termasuk menstimulasi, menyeleksi pertumbuhan
jabatan dan perkembangan guru-guru serta evaluasi pengajaran.
Menurut Boardman et al, Supervise adalah suatu usaha menstimulasi,
mengkoordinasi dan membimbing secara kontinu pertumbuhan guru-guru di seolah
baik secara individual maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan efektif
dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran. Dengan demikian mereka dapat
menstimulasi dan membimbing pertumbuhan tiap murid secara kontinu serta mampu
dan lebih cakap berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi modern.
Seorang supervisor yang baik memiliki lima keterampilan dasar,
yaitu:
1.
Keterampilan dalam hubungan-hubungan kemanusiaan.
2.
Keterampilan dalam proses kelompok.
3.
Keterampilan dalam kepemimpinan pendidikan.
4.
Keterampilan dan mengatur personalia sekolah.
5.
Keterampilan dalam evaluasi (Kimball Wiles, 1955).
Dalam buku
Kimball Wiles yang direvisi oleh Jhon T. Lovel, dijelaskan supervise pengajaran
dianggap sebagai system tingkah laku formal, yang dipersiapkan oleh lembaga
untuk mencapai interaksi dengan system perilaku mengajar dengan cara
memelihara, mengubah dan memperbaiki rencana serta aktualisasi kesempatan
belajar siswa. Uraian tentang supervisi pengajaran yang disebutkan diatas
berfokus pada:
1.
Perilaku supervisor
2.
Dalam membanu guru-guru
3.
Dan tujuan akhirnya untuk mengangkat harapan belajar sisiwa.
Sehingga dapat dirumuskan supervisi tidak lain dari usaha memberi
layanan kepada guru-guru baik secara individual maupun secara kelompok dalam
usaha memperbaiki pengajaran. Kata kunci dari pemberi supervisi pada akhirnya
ialah memberikan layanan dan bantuan.
B.
Prinsip Supervisi Pendidikan
Masalah
yang dihadapi dalam melaksanakan supervise di lingkungan pendidikan ialah
bagaimana cara mengubah pola piker yang bersifat otokrat dan korektif menjadi
sikap yang kurang konstruktif dan kreatif. Suatu sikap yang menciptakan situasi
dan relasi dimana guru merasa aman dan merasa diterima sebagai subjek yang
dapat berkembang sendiri. Untuk itu supervisi harus dilaksanakan berdasarkan
data, fakta yang objektif, bila demikian maka prinsip supervisi yang
dilaksanakan adalah (Sahertian: 2000: 19):
1.
Prinsip Ilmiah (scientific)
Prinsip
ilmiah mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Kegiatan supervise dilaksanakan berdasarkandata objektif yang
diperoleh dalam kenyataan pelaksanaan proses belajar mengajar.
b.
Untuk memperleh data perlu diterapkan alat perekam data, seperti
angket, observasi, percakapan pribadi, dan setetrusnya.
c.
Setiap kegiatan supervise dilakanakan secara sistematis, berencana
dan kontinu.
2.
Prinsip Demokratis
Servis
dan bantuan yang diberikan kepada guru berdasarkan hubungan yang akrab dan
kehangantan ssehingga guru-guru merasa aman untuk mengembangkan tugasnya.
Demokratis mengandung makna menjunjung tinggi harga diri dan martabat guru,
bukan berdasarkan atasan dan bawahan, tapi berdasarkan rasa kesejawatan.
3.
Prinsip Kerjasama
Mengembangkan
usaha bersama menurut istilah suprvisi “sharing of idea, sharing of
experience”, memberi support mendorong, mensimulasi guru, sehingga
merasa tumbuh bersama.
4.
Prinsip Konstruktif dan Kreatif
Setiap
guru akan merasa termotivasi dalam mengembangkan potensi kreatifitasnya kalau
ssupervisi mampu menciptakan suasana kerja yang meyenangkan, bukan melalui
cara-cara menakutkan.[1]
C.
Tujuan Supervisi Pendidikan
Tujuan Supervisi adalah mengembangkan situasi belajar dan mengajar
yang lebih baik. Usaha perbaikan belajar dan mengajar ditujukan kepada
pencapaian tujuan akhir dari pendidikan yaitu pembentukan pribadi anak secara
maksimal.
Secara nasional tujuan kongkrit supervisi pendidikan adalah:
1.
Membantu guru melihat dengan jelas tujuan-tujuan pendidikan.
2.
Membantu guru dalam membimbing pengalaman belajar murid.
3.
Membatu guru dalam menggunakan alat pelajaran modern, metode-metode
dan sumber-sumber pengalaman belajar.
4.
Membantu guru dalam menilai kemajuan murid-murid dan hasil
pekerjaan guru itu sendiri .
5.
Membantu guru-guru baru disekolah sehingga mereka merasa gembira
dengan tugas yang diperolehnya.
6.
Membantu guru-guru agar waktu dan tenaganya tercurahkan sepenuhya
dalam pembinaan sekolah.
Sedangkan Piet
A. Sahartian menambahkan tujuan supervisi pendidikan yaitu sebagai berikut:
1.
Membantu guru-guru agar lebih mudah mengadakan penyesuaian terhadap
masyarakat dan cara-cara menggunakan sumber-sumber masyarakat dan seterusnya.
2.
Membantu guru-guru dalam membina reaksi mental atau moral kerja
guru-guru dalam rangka pertumbuhan pribadi dan jabatan mereka.[2]
D.
Fungsi Supervisi Pendidikan
Fungsi
utama supervise pendidikan adalah menilai dan memperbaiki faktor-faktor yang
memengaruhi proses pembelajaran peserta didik. (Burton & Bruckner, 1995: 3)
Sedangkan Brigss mengungkapkan bahwa fungsi utama supervisi bukan hanya
perbaikan pembelajaran tapi mengkoordinasi, menstimulasi, mendorong kea rah
pertumbuhan guru. Dengan perkataan lain seprti yang diungkapkan Kimball Wiles
bahwa fungsi dasar supervise ialah memperbaiki situasi belajar mengajar dalam
artian yang luas. Ada analisisnya yang lebih luas seperti dibahas oleh Swearing
dalam bukunya Supervisi of Instruction-Fundation and Dimention (1961).
Ia mengemukakan delapan fungsi supervisi, diantaranya:
1.
Mengkoordinasi semua usaha sekolah
2.
Memperlengkapi kepemimpinam sekolah
3.
Memperluas pengalaman guru-guru
4.
Menstimulasi usaha-usaha yang kreatif
5.
Memberi fasilitas dan penilaian yang terus-menerus
6.
Menganalisis situasi belajar-mengajar
7.
Memberikan pengetahuan dan ketrampilan kepada setiap anggota staf
8.
Memberi wawasan yang lebih luas dan terintegrasi dalam merumuskan
tujuan-tujuan pendidikan dan meningkatkan kemampuan mengajar guru-guru[3]
E.
Peranan Supervisi Pendidikan
Supervisi
berfungsi membantu (assisting) member
support (supporting) dan mengajak
mengikutsertakan (sharing) (Kimball
Wiles, 1955). Dilihat dari fungsinya, tampak dengan jelas peranan supervisi
itu. Peranan itu tampak dalam kinerja supervisor yang melaksanakan tugasnya.
Mengenai peranan supervise dapat dikemukakan berbagai pendapat para ahli.
Seorang supervisor dapat berperan sebagai:
1. Koordinator
Sebagai
koordinator ia dapat mengkoordinasikan program belajar-mengajar, tugas-tugas
anggota staf berbagai kegiatan yang berbeda-beda di antara guru-guru. Contoh
konkret mengkoordinasi tugas mengajar satu mata pelajaran yang dibina oleh
berbagai guru.
2. Konsultan
Sebagai
konsultan ia dapat member bantuan, bersama mengkonsultasikan masalah yang
dialami guru baik secara individual maupun secara kelompok. Misalnya, kesulitan
dalam mengatasi anak yang sulit belajar, yang menyebabkan guru sendiri sulit
mengatasi dalam tatap muka di kelas.
3. Pemimpin
kelompok
Sebagai
pemimpin kelompok ia dapat memimpin sejumlah staf guru dalam mengembangkan
potensi kelompok, pada saat mengembangkan kurikuln, materi pelajaran dan
kebutuhan professional guru-guru secara bersama. Sebagai pemimpin kelompok ia
dapat mengembangkan keterampilan dan kiat-kiat dalam bekerja untuk kelompok (working for the group), bekerja dengan
kelompok (working with the group) dan
bekerja mealui kelompok (working through
the group).
4. Evaluator
Sebagai
evaluator ia dapat membantu guru-guru dalam menilai hasil dan proses belajar,
dapat menilai kurikulum yang sedang dikembangkan. Ia juga belajar menatap
dirinya sendiri. Ia dibantu dalam merefleksi dirinya, yaitu konsep dirinya (self concept), ide/cita-cita dirinya (self idea), realitas dirinya (self reality) (P. Wiggens, 1965).
Misalnya, diakhir semester ia dapat mengadakan evaluasi diri sendiri dengan
memperoleh umpan balik dari setiap peserta didik yang dapat dipakai sebagai
bahan untuk memperbaiki dan meningkatkan dirinya.
Yang harus
diubah ialah untuk kinerja para Pembina pendidikan (supervisor) yang memakai pola lama, yaitu mencari-cari kesalahan
dan kebiasaan memberi pengarahan. Dalam iklim demokrasi, harus ada reformasi
untuk kinerja para Pembina pendidikan seperti yang diungkap Kimball Wiles
(1955). Ia menegaskan peranan seorang supervisor ialah membantu, member support
dan mengikutsertakan, bukan mengarahkan, selain tidak demokratis, juga tidak
member kesempatan untuk guru-guru belajar sendiri (otonom) dalam arti
professional. Guru tidak diberi kesempatan untuk berdiri sendiri atas tanggung
jawab sendiri. Padahal cirri dari guru yang professional ialah guru-guru
memiliki otonomi dalam arti bebas mengembangkan diri sendiri atas kesadaran
diri sendiri.
F.
Objek Supervisi Pendidikan
Sudah dijelaskan dimuka bahwa objek pengkajian supervisi ialah
perbaikan situasi belajar-mengajar dalam arti yang luas. Piet A. Sahertian
melihat objek supervisi di masa yang akan datang mencakup:
1.
Pembinaan kurikulum
2.
Perbaikan proses pembelajaran
3.
Pengembangan staf
4.
Pemeliharaan dan perawatan moral serta semangat kerja guru-guru.
Berikut ini adalah penjabaran tentang objek supervise pendidikan:
1.
Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum
Bila suatu kurikulum akan diterapkan maka pengawas pendidikan yang
pertama ditatar dan diperlengkapi agar mereka bertugas untuk menerapkan
kurikulum yang hendak dilaksanakan. Selain itu, para Pembina/supervisor
bertugas untuk memberikan pengertian tentang apa sebenarnya kurikulum itu,
pendekatan yang digunakan dalam kurikulum.
Kegiatan
dan pengalaman belajar, model pengembangan kurikulum yang hendak
diterapkan.
(1)
Apa yang dimaksudkan dengan
kurikulum?
Kurikulum adalah sejumlah pengalaman belajar yang dirancangkan
dibawah tanggung jawab sekolah untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
(2)
Pendekatan yang digunakan dalam
menyusun kurikulum
Ada
kurikulum yang disusun berorientasi pada materi pelajaran. Yang diutamakan ialah sejumlah bahan yang harus dikuasai oleh
peserta didik. Ada kurikulum yang berorientasi pada tujuan-tujuan yang hendak
dicapai. Biasanya kurikulum yang berorientasi pada tujuan selalu mengacu pada
taksonomi tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh S. Bloom yang mencakup:
Domain kognitif, Domain psikomotorik, dan Domain afektif.
Ada
juga kurikulum yang berorientasi pada kebutuhan siswa. Artinya kurikulum itu
disusun sesuai dengan apa yang dibutuhkan siswa pada suatu tingkat tertentu
atau pada suatu tempat tertentu. Ada pula kurikulum yang disusun berorientasi
pada perubahan tingkah laku. Aspek tigkah laku yang mana yang ingin dicapai
malalui kurikulum. Misalnya, kurikulum itu ditujukan untuk pembentukan sejumlah
pengaetahuan (spek kognitif). Atau kurikulum yang disusun untuk mengubah sikap
peserta didik. Ataukah untuk mencapai kemampuan potensi kreativitas atau
seperangkat sikap social.
Selain
pendekatan kurikulum yang berorientasi pada berbagai aspek kepribadian peserta
didik, guru-guru harus mampu membaca pokok-pokok bahasan, konsep, dan tema-tema
yang dirumuskan dalam kurikulum itu. Kemudian tugas guru ialah merancangkan
berbagai pengalaman belajar dan kegiatan belajar dalam rangka mencapai tujuan
belajar.
2.
Peningkatan Proses Pembelajaran
Sasaran
kedua adalah memperbaiki proses pembelajaran. Kegiatan belajar yang dilaksankan
siswa dibawah bimbingan guru mulai dari merumuskan tujuan hingga merancang
pengalaman belajar. Belajar ditandai dengan mengalami perubahan tingkah laku,
karena memperoleh pengalaman baru. Melalui perolehan pengalaman belajar peserta
didik memperoleh pengertian, sikap penghargaan, kebiasaan, kecakapan, dan
lainnya. Agar peserta didik memperoleh sejumlah pengalaman belajar, maka mereka
harus dilakukan sejumlah kegiatan belajar. Suatu daftar kegiatan belajar telah
disusun oleh Paul B. Diedrich. Ada 177 macam kegiatan belajar. Yang dikemukakan
disini hanya beberapa kegiatan belajar saja.
a)
Kegiatan mengamati (visual
activities).
b)
Kegiatan mendengarkan (listening
activities).
c)
Kegiatan berbicara/lisan (oral
activities).
d)
Kegiatan mengambarkan (drawinf
activities).
e)
Kegiatan melalui gerak/motor (motor
activities).
f)
Kegiatan mental (mental
activities).
g)
Kegiatan menulis (writing
activities).
h)
Kegiatan emosional,
Dengan berbagai kegiatan belajar siswa akan memperoleh sejumlah pengalamn
belajar (learning experiences). Belajar
bukan saja menguasai sejumlah materi pengetahuan, tapi memperoleh sejumlah
pengalaman belajar. Sifat pengalaman itu bermacam-macam.
a)
Pengalaman yang bersifat sahih (valid),
yaitu pengalaman yang benar-benar tepat seperti yang dimaksudkan. Contoh:
upacara hari Sumpah Pemuda yang dilakukan di halaman sekolah. Para siswa
memperoleh pengalaman belajar terhadap peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28
Oktober 1928.
b)
Pengalaman juga bersifat lengkap (komprehensif).
c)
Pengalaman yang diberikan juga beragam (variasi).
d)
Pengalaman juga bersifat relevan.
Selain tujuan, kegiatan belajar, pengalaman belajar, juga
ditingkatkan berbagai keterampilan mengajar seperti keterampilan menjelaskan,
keterampilan member motivasi, keterampilan memberi penguatan dan keterampilan
dalam mengelola kelas. Bagaimana cara menciptakan suasana beajar-mengajar yang
menyenangkan adalah salah satu usaha perbaikan proses belajar-mengajar. Selain
itu perlu dikembangkan kemampuan dan menilai hasil belajar dan proses belajar.
Setiap guru yang selesai mengajar bertanya pada dirinya apakah bahan yang
disajikan dapat dikuasai oleh subjek didik. Supervisor dapat mendorong
guru-guru untuk mengembangkan berbagai model rancangan pembelajaran.
3.
Pengembangan Sumber Daya Guru dan
Staf Sekolah
Seperti
yang telah diuraikan pada latar belakang perlunya supervise bahwa guru-guru itu
perlu bertumbuh dalam jabatannya maka setiap guru harus berusaha untuk
mengembangkan dirinya. Ada beda antara pengembangan staf dab inservise education. Pengembangan staf
dapat dipandang usaha yang dating dari guru itu sendiri untuk meningkatkan
kualitas profesi mengajarnya. Sedangkan inservise
education dilihat dari segi pihak luar, seperti lembaga pendidikan guru
yang berusaha untuk mendorong guru-guru agar mau mengajar lagi.[4]
G.
Prosedur Supervisi Pendidikan
Beberapa langkah pengawasan dalam kelembagaan tingkat satuan
pendidikan adalah sebagai penentu standar, mengadakan pengukuran, membandingkan
antara hasil pengukuran dengan standar yang telah ditetapkan, dan melaksankan
perbaikan ketika ada penyimpangan atau daur ulang dengan membuat perencanaan
baru jika ternyata hasil pembandingan yang dilakukan lebih atau sama dengan
yang distandarkan.
1.
Penentuan Standar
Yang
dimaksudkan dengan standar adalah patokan-patokan mengenai keberhasilan dan
kegagalan suatu kegiatan. Misalnya, suatu kegiatan direncanakan terlaksana 90%
dari keseluruhannya, maka jika terlaksana sama atau lebih dari 90%, dikataka
sesuai dengan standar atau patokan. Sebaliknya, jika kurang dari 90%, maka
dianggap tidak sesuai dengan standar atau patokan. Standar ini haruslah dibuat
dan senantiasa dikomunikasikan kepada bawahan, agar mereka mengetahui
target-target yang dimiliki oleh organisasi atau lembaganya.
Adapun
yang patut distandarkan adalah keseluruhan substansi manajemen tingkat satuan
pendidikan beserta seluruh elemen-elemennya. Adapun standar ini, akan
menjadikan penyebab ada titik tolak patokan dalam melaksanakan aktivitas.
2.
Mengadakan Pengukuran
Pengukuran
dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilaksankan. Pengukuran
dilakukan dengan maksud mengetahui seberapa jauh suatu kegiatan telah
dilaksanakan atau belum. Pengukuran bermaskud mengetahui pelaksanaan kegiatan
dalam pengertian seriil mungkin. Pengetahuan mengenai kegiatan dalam kondisi
yang riil ini sangat penting, agar dapat diambil langkah-langkah konkret
berdasarkan kebutuhan. Oleh karena itu, pemimpin organisasi atau lembaga, tidak
boleh percaya begitu saja kepada laporan bawahan-bawahannya, karena bias jadi mereka
dalam memberikan laporan sekedar Asal Bapak Senang (ABS) saja. Pengecekan dalam
waktu mendadak, yang dewasa ini dikenal dengan istilah sidak, sangat penting
dilakukan. Demikian juga masukan-masukan dari masyarakat mengenai suatu lembaga
haruslah diperhatikan, bias jadi memang laporan tersebut benar.
Ada
dua cara dalam pengukuran. Pertama, dengan
menggunakan teknik tes dan yang kedua, dengan menggunakan teknik nontes. Teknik tes
ilkaukan guna mengetahui berbagi aspek yang bersifat pengetahuan dan keterampilan,
sementara teknik nontes digunakan utuk mengetahui keseluruhan aspek lain yang
tidak dapat dijangkau oleh teknik nontes.
3.
Membandingkan Hasil Pengukuran
dengan Standar yang Telah Dilakukan
Dengan
langkah ketiga ini, akan diketahui selisih antara hasil pengukuran dengan
standar yang telah ditentukan. Apakah selisih tersebut plus ataukah minus. Jika
selisihnya adalah plus, maka dari langkah ketiga ini langsung kembali ke
langkah satu, yaitu membuat standar baru keberhasilan. Bias jadi, standar baru tersebut
sama dengan sebelumnya, dan akan lebih baik (karena bertambah meningkat) jika
ditingkatkan lagi. Misalnya, jika standar sebelumnya adalah 90%, bisa
ditingkatkan menjadi 95%. Seblaiknya, jika selisihnya adalah minus, maka
dilakukan langkah pengawasab berikutnya, yaitu mengadakan perbaikan.
4.
Mengadakan Perbaikan
Sebagaimana
disebutkan diatas, bahwa perbaikan-perbaikan tersebut dilakukan berdasarkan
selisih minus hasil perbandingan pengukuran dngan standar. Langkah perbaikan
ini dilakukan dengan maksud agar apa yang telah distandarkan tercapai.
Perbaikan tersebut, tertuju pada hal-hal yang menjadi penyebab target suatu
standar tersebut tak terpenuhi.
Jika
langkah-lagkah pengawasan ini divisualisasikan, tampak sebagaimana dibawah ini.
(Diadaptasi dari Streers, 1985. Managing Effective Organization,
hlm. 205).[5]
H.
Kendala-Kendala Supervisi
Pada prakteknya pelaksanaan supervisi pengajaran di Indonesia masih
banyak kedala yang dihadapi. Sejak awal kendala yang dihadapi adalah; kurang
memahami kemampuan supervisor, sehingga pelaksanaanya tidal lebih suatu
kegiatan administrasi rutin; kurang lancarnya komunikasi dan tranportasi akibat
kondisi geografis; system birokrasi terbaginya loyalitas supervisi sebagai
dampak dualisme pengenalan (di sekolah dasar); dan sikap guru serta supervior terhadap
pembaharua pendidikan (Beeby, 1979). Selain itu kendala yang di hadapi BP3K
(1983) melalui laporan Hasil Evaluasi terpadu Kurikulum Pendidikan Dasar dan
Menengah sebagai berikut:
1.
Pelaksanaan supervisi yang kadang-kadang cenderung ke segi
administrasi
2.
Kurang jelasnya Pembedaan fungsi administrasi dan supervisi dari
pedoman yang ada, sehingga para kepala sekolah tidak dengan melaksanakan tugas
masing-masing fungsi kurag baik
3.
Kurangnya tenaga guru yang dikaitkan dengan keefektifan supervisi
4.
Kurangnya sarana yang diperlukan untuk menunjang kegiatan supervisi
dalam melakukan pembaharuan kurikulum. Depdikbud telah mengantisipasi
kendala-kendala itu dengan mencatatnya sebagai informasi yang perlu dan harus
diperhatikan oleh pelaku supervisi. Dapun kendala-kendala yang dimaksud adalah:
a.
Sistem pembinaan yang kurang memadai, karena:
1)
Pembinaan lebih menekankan aspek administratif dan melalaikan aspek
profesi
2)
Kurangnya tatap muka antara Pembina dan guru
3)
Kurangnya penambahan pengetahuan dari para Pembina, sehingga tidak
dapat mengamati perkembangan baru dalam berbagai mata pelajaran
4)
Pemibina masih menggunakan jalur tunggal dan searah dari atas ke
bawah
5)
Potensi guru sebagai Pembina rekan guru lain kurang digunakan
b.
Sikap metal yang kurang menunjang, misalnya hubungan profesional
yang kaku dan kurang akrab antara “atasan” dan “bawahan”.
c.
Kurang terkoordinatnya kegiatan pembinaan berbagai pihak yang
berwewenang dilapangan, baik secara horizontal, sehingga kadang-kadang
membingungkan para guru
d.
Persepsi, Respons, dan Sikap Guru terhadap Supervisi
PENUTUP
SIMPULAN
Supervise adalah pembinaan yang
diberikan kepada seluruh staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan
untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik. Untuk menjadikan
semua itu lebih baik maka perlulah mengetahui tentang supervise pendidikan yang
telah disapaikan pada memaparan makalah tadi. Maka dari itu kami menyadari
betul dalam pembuatan makalah ini masih belum sempurna yang memerlukan kritik
dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
Piet A.
Sahertian. 2008. Konsep Dasar dan Teknik
Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Rineka Cipta
Luk-luk Nur
Mufidah. 2009. Supervise Pendidikan. Yogyakarta: Teras
Binti Maunah.
2009. Supervisi Pendidikan Islam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Teras
Ali Imron.
2014. Proses Manajemen Tingkat Satuan
Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara
[1] Luk-luk Nur Mufidah. 2009. Supervise Pendidikan. Yogyakarta:
Teras. (Hlm. 11-12)
[2] Binti Maunah. 2009. Supervisi Pendidikan Islam Teori dan
Praktik. Yogyakarta: Teras. (Hlm. 26-28)
[3] Luk-luk Nur Mufidah. 2009. Supervise Pendidikan. Yogyakarta:
Teras. (Hlm. 19-20)
[4] Piet A. Sahertian. 2008. Konsep
Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Rineka Cipta. (Hlm. 16-19, 25-26, 26-32).
[5] Ali Imron. 2014. Proses
Manajemen Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara. (Hlm.
139-142).
Langganan:
Postingan (Atom)